Bagi yang kuliah jurusan Akuntansi, Anda tentu ingat di kelas Intermediate Accounting, Anda mendapat pelajaran bahwa HPP didapat dengan rumus:
HPP = RM + DL + FOH
di mana:
- RM = cost dari Raw Material / Bahan baku
- DL = Direct Labor, yaitu biaya tenaga kerja langsung yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk tersebut.
- FOH = Factory Overhead atau sering juga disebut MOH (Manufacturing Overhead), yaitu biaya-biaya tidak langsung yang dibebankan ke HPP.
Rumus ini sebetulnya sudah tidak relevan lagi dengan jaman sekarang karena akan berdampak kepada daya saing perusahaan Anda. Hal ini sudah saya bahas di artikel saya yang lain. Namun karena ada banyak yang memegang rumus ini sebagai Kitab Suci, jadi saya tidak berani melawan arus.
Mari kita bahas 1 per 1 komponen HPP ini.
Untuk RM, perhitungannya mudah. Kita tinggal gunakan cost inventory Raw Material sesuai dengan perhitungan (Bisa lihat di artikel saya tentang cara perhitungan cost average dan FIFO). Anda bisa langsung dapatkan nilai dari RM ini.
Sebagai contoh:
Untuk membuat 100 buah produk C, Anda butuh 50 A dan 20 B. Bila cost A = Rp.1.000 dan cost B=Rp.2.000, maka total HPP dari komponen RM adalah:
50 x 1.000 + 20 x 2.000 = 90.000
Jadi HPP 1 buah C adalah = 90.000/100 = Rp. 900.
Itu kalau kita hanya menghitung RM-nya saja.
Sekarang kita masuk ke komponen kedua, yaitu DL. Hati-hati. komponen ini namanya adalah Direct Labor, alias Biaya tenaga kerja langsung.
Apa yang dimaksud langsung adalah biaya ini naik seiring dengan jumlah produk yang dikerjakan. Istilah akuntansinya adalah variable cost.
Apakah kondisi saat ini masih ada? Ya, masih ada. Perusahaan ini untuk beberapa produk tradisional membayar buruhnya berdasarkan hasil produksi. Namun kondisi ini sudah sangat jarang. Kebanyakan pabrik membayar buruhnya dalam jumlah tetap setiap bulan, terlepas dari jumlah produk yang dihasilkan bulan itu.
Sebetulnya biaya gaji bulanan tidak boleh masuk ke kategori DL karena sudah tidak sesuai lagi dengan prinsipnya. Namun ada banyak accounting manager/business owner yang ngotot untuk memasukkan biaya ini sebagai DL.
Nah, di sini situasi mulai rumit.
Bila Anda ingin menghitung biaya 'DL' (saya kasih tanda kutip karena ia bukanlah DL yang sesungguhnya) secara tepat, maka Anda harus menggunakan rumus:
Gaji 1 bulan / jumlah produksi di bulan ini
Pertanyaannya adalah: Kapan/bagaimana Anda bisa tahu jumlah produksi bulan ini?
Anda harus tunggu akhir bulan untuk mengetahui persis angka ini bukan? Kalau betul Anda tunggu akhir bulan baru dibebankan ke HPP, berarti Anda ada 2 pilihan:
- Hitung dulu HPP dengan RM, setelah RM sudah diketahui, baru dibebankan. Konsekuensinya adalah semua barang yang sudah dijual, COGS-nya harus dihitung ulang. Konsep hitung ulang sudah saya jelaskan di sini.
- Anda catat semua hasil produksi di akhir bulan. Konsekuensinya adalah, bila sebelum akhir bulan FG (Finished goods/barang jadi) tersebut sudah dijual, Anda harus jual dengan posisi stock negatif.
Tidak ada solusi yang enak untuk kedua hal ini. Itu sebabnya muncullah alternatif solusi yang lain, yaitu Standard Cost.
Perhitungan Standard Cost bisa menggunakan 2 cara:
- Berdasarkan jumlah produksi. Metode ini umumnya digunakan untuk produk yang proses produksinya mirip.
- Berdasarkan waktu produksi. Metode ini biasanya digunakan untuk produk yang prosesnya beragam sehingga membutuhkan waktu produksi yang berbeda-beda.
Untuk perhitungan standard cost berdasarkan jumlah biasanya digunakan data historikal. Misalkan tahun lalu kapasitas produksinya sebesar 1 juta ton. Maka biaya gaji 1 tahun dibagikan dengan jumlah ini. Didapatilah biaya per ton. Biaya inilah yang akan dibebankan ke setiap ton hasil produksi.
Berbeda dengan metode jumlah, untuk perhitungan berdasarkan waktu kita tidak butuh data historikal. Berdasarkan biaya bulanan yang dibagi per hari dan per jam, didapati cost per jam. Sebagai contoh: 1 bulan gaji adalah 3 juta/orang. Dalam 1 bulan ada = 6 hari x 4 minggu x 7 jam = 168 jam.
Dengan kata lain, biaya DL dibulatkan menjadi Rp. 18,000/orang/jam.
Setiap FG akan dihitung berapa lama dan berapa orang yang dibutuhkan untuk mengerjakannya. Dikali dengan angka di atas akan didapatkan biaya DL-nya dan langsung dibebankan saat pencatatan produksi.
Metode standard cost ini walaupun lebih baik dibandingkan metode actual, tetap memiliki kelemahan. Metode ini akan menjadi tidak akurat bila jumlah produksi tidak stabil.
Saya pribadi, bila harus memilih, lebih menyarankan untuk menggunakan standard cost berbasis waktu.
Kembali ke contoh di atas, bila untuk menghasilkan 100 buah A membutuhkan 1 orang selama 2 jam, maka HPP-nya akan menjadi:
(90.000 + 2 jam *18.000/jam)/100 = Rp.1.260/buah
Terakhir: Komponen FOH. FOH adalah biaya-biaya pabrik yang tidak berhubungan langsung dengan produksi. Saya tidak menyarankan Anda untuk membebankan FOH ke dalam HPP Anda demi daya saing. Namun bila Anda tetap ngotot untuk membebankan depresiasi mesin atau bahkan gaji direktur ke dalam HPP, resiko ditanggung sendiri.
Cara pembebannya sama seperti pembebanan 'DL' yang sudah saya jelaskan di atas. Anda bisa pilih cara actual atau standard. Kalau standard cost, Anda bisa pilih mau pakai berdasarkan jumlah atau waktu.
Dengan menjumlahkan semua biaya RM, DL & FOH dan dibagi dengan hasil produksi, Anda akan dapatkan HPP per produk yang Anda hasilkan.
Misal, setelah Anda hitung, FOH per buah adalah Rp. 100. Maka HPP Item A di atas akan menjadi:
1.260 + 100 = Rp.1.360 / buah
Demikian penjelasan saya mengenai cara perhitungan HPP sebuah pabrik. Semoga bisa memberikan Anda gambaran cara menghitung HPP di pabrik Anda.
Ditulis oleh: Mas Agung Sachli (*)
(*) Penulis adalah CEO dari Imamatek, perusahaan di balik FINA Accounting Software. Beliau sudah mengembangkan software akuntansi sejak tahun 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar